-->

Search News

News

Gambar tema oleh kelvinjay. Diberdayakan oleh Blogger.

Video

Nasional

Pariwisata

Life & style

Musik & Film

Profile

Model & Fashion



» » » » Cabut Alat Suci Penjor, Korban Datangi Markas Keris Bali

Jro Ismaya Jaya miris melihat keributan sampai mencabut simbol suci umat Hindu Bali

GATRADEWATA NEWS ● BALI | Miris mendengar salah satu keluarga adat di Bali mendapatkan perilaku yang arogan di desanya sendiri. Mendengar livenya Ketut Putra Ismaya Jaya (Jro Bima) selaku ketua Yayasan Kesatria Keris Bali yang getol memperjuangkan masyarakat Bali terutama yang tertindas, sedikit terkejut dengan perilaku oknum yang ada di desa Taro Kelod, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.




Menemui di markas besar Kesatria Keris Bali di Denpasar, mendengarkan secara langsung percakapan dalam video live facebook antara Ismaya jaya dan I Ketut Warka dan keluarga (Jro mangku). Permasalahan tentang pencabutan Penjor di depan rumah dan dibuang dipekarangan rumahnya sendiri oleh oknum di desa tersebut.


I Wayan Gede Kartika (Yande) hadir bersama orang tuanya I Ketut Warka untuk menjelaskan duduk permasalahannya. Yande menceritakan awal mulai perselisihannya adalah permasalahan tanah (2017) milik leluhurnya dengan salah satu warga Banjar Taro Kelod.

"Perselisihannya akhirnya berujung ke pengadilan. Perselisihan itu diputuskan di pengadilan Gianyar dan saya selalu penggugat menang disana dengan putusan eksekusi. Dari pihak lawan dan rekannya melakukan perlawanan sampai tingkat kasasi dan kembali menang, "jelasnya menceritakan, Jumat (10/06/2022).

Kemenangan itulah diceritakannya menjadi permasalah kembali secara pribadi dengan menekankan bahwa itu adalah sengketa adat. Dengan itu keluarga Ketut Warka mendapatkan sanksi adat berupa dikeluarkannya sebagai anggota adat Banjar Taro Kelod.

Perbuatan yang tidak menyenangkan yang diceritakan oleh Yande ini terus berlanjut, seperti ceritanya bahwa pembuangan bekas upacara di halaman rumahnya yang sangat mengganggu aktivitas dirinya dan keluarga.

"Berlanjut sampai sekarang, pada waktu belakangan ini dalam merayakan hari raya Galungan, Penjor dan sanggah penjor sebagai sarana alat suci kami dicabut sekitar jam 9 malam, yang kami pasang sore harinya jam 4 dan dibuang di bambu-bambu yang ada di pekarangan titiang (saya), "ungkap Yande.

Kejadian itulah yang membuat Yande dan keluarganya melaporkan kepada kepolisian setempat (Polres Gianyar). Tentu bila dibayangkan ditarik benang sesuai hukum yang ada di Indonesia, adalah Pasal 406 KUHP yang isinya adalah merusak barang milik orang lain, dengan ancaman pidana 2 tahun 8 bulan penjara, sedangkan pasal 55 KUHP juga menguatkan barang siapa yang menyuruh melakukan perbuatan tersebut. Dan pasal 355 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman penjara 1 tahun. Tentu semua itu merupakan ranah kepolisian yang akan bertugas menyelidikinya.

Pertanyaan Jro Ismaya tentang apa saja sanksi adat yang diterimanya, ia menjelaskan bahwa dirinya dan keluarga dibebaskan dari iuran desa adat. Dari air minum (keran), air sawah (Irigasi) ditutup oleh oknum aparat desa adat.

"Bukan saja itu, tetapi anak-anak titiang juga merasa trauma, karena kejadian yang terakhir itulah juga tidak bisa secara khuyuk merayakan hari raya Galungan, "tambahnya.

Kehidupan yang sudah 6 generasi berada di pekarangan itu secara turun temurun, secara administrasi desa pekraman sudah menunaikan kewajibannya sejak lama. Dalam wawancara dengan Jro Ismaya sambil menekankan kebenarannya dengan saksi Canang Sari, bahwa agar semua keterangan dari Yande bisa dia pertanggungjawabkan dunia akhirat.

Jro Ismaya mengatakan bahwa informasi dari prajuru Desa Adat bahwa tanah tersebut telah diserahkan oleh leluhur Ketut Warka (ayah) kepada Desa adat, secara lisan.

"Penglingsir Titiang Made Cedok tidak pernah memberikan tanah itu kepada desa Adat. Saya berani bersumpah dimanapun bahwa leluhur saya tidak pernah memberikan itu, "sebutnya.

Ketut Warka yang merupakan Pemangku dari Pura Puseh Kayangan Tiga (40 tahun ngayah di wilayah desanya), ayah dari Yande mengatakan juga bahwa dirinya sudah dikeluarkan dari ayah-ayahan (pengabdian) di desa.

"Kejadian pengabdian itu saya pun dilepaskan, tetapi yang luka itu perasaan saya bukan fisik saya. Saya merasa tidak ada dendam, tidak juga merasa kesal dengan warga masyarakat, "keluh Jro Mangku.

Jro Ismaya juga merasakan hal yang sama, ia ingin tetap bersuara bila ini menyangkut kebenaran. Rumah yang dibuangin sampah dan simbol suci diperlakukan tidak baik itu, sempat viral di media sosial.

"Kedua pihak pastilah punya alibi masing-masing, saya tidak masuk diranah itu, tetapi yang saya sesalkan adanya sanksi adat yang sampai mengeluarkan saudara, harusnya para prajuru adat bisa lebih mengemong (merangkul) masyarakatnya, "pungkasnya.

Menghubungi Ketua MDA Gianyar melalui pesan elektronik, belum mendapat jawaban. Kemudian menghubungi Bandesa Taro Kelod belum juga mendapatkan respon sampai berita ini turun. (Ray)

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama